Jumat, 06 Januari 2012

membenci mentari


Terkadang, aku membenci matahari.. karna ketika aku kedinginan, lantas aku merindukannya. Sementara sang malam masih bergelayut manja pada langit. Tanda bahwa malam masih panjang.. cukup panjang..

Semua orang percaya, bahwa pagi pasti akan datang menyapa. Tapi itu hanya berlaku di dunia mereka. Tidak di duniaku. Disini tidak ada jam. Aku tak bisa menghitung waktu. Sehingga aku tak bisa mengira, kapan tepatnya akan bertemu pagi..

Maka, aku lebih memilih untuk berteman dengan kesendirian dan hawa dingin. Biar dingin ini membuat beku hatiku, hingga ia menggigil di pojok ruang tersembunyi. Dan ia pun tak lagi bebas menjelajah setiap inci tubuhku kemanapun ia suka. Melewati pembuluh-pembuluh darahku, menerobos barier sawar darah otakku, lalu berorasi si setiap ujung syarafku.
Mungkin yang lebih ekstrim, aku lebih memilih untuk tidak mengenal matahari. Tidak mengenal sinarnya yang hangat menyapa, tidak mengenal pelangi yang berwarna-warni akibat sinarnya yang menelisik lembut dari balik awan setelah hujan deras. Biarlah.. aku lebih nyaman berteman dengan kesendirian dan hawa dingin. Membuatku mudah mengemas rasa ini menjadi kecil lalu menyimpannya di sudut. Membuatku mudah untuk merasa cukup hanya ditemani redup para bintang dan dihangatkan oleh nyala sebatang lilin.

Ya, aku membenci kehangatan itu. Karna walau dengan mudahnya ku bermandikan cahayanya hanya dengan 1 langkah kecilku, tetapi seperti ada tembok tinggi besar yang tak kasat mata menghalauku. Kokoh pondasinya membuat jeritku tak terdengar olehmu, pun sekeras apapun aku mendobrak. Sehingga kau tak pernah menoleh kemari. Ketika aku membutuhkanmu. Membuatku berdiri terpaku disini.. Kosong.. Aku hanya bisa menatap pilu cahaya hangat yang ada di ujung sana. Karna tak bisa kugapai.. tak bisa kurasa.. Lalu, aku memilih menatap hamparan pasir di bawah kakiku, agar memudahkanku menyelami apa itu rasa hampa.

Ketika ku terbiasa dengan kesunyian dan kehampaan ini, tiba-tiba ada seberkas garis cahaya yang menyentuh lembut tanganku. Ada apa ini? Ketika ku menengadah, kulihat, di tembok itu sekarang terdapat jendela kecil berdaun kayu. Dengan gemulainya kau melewati kisi-kisinya sehingga membentuk seberkas garis cahaya di udara yang mempesona. Membuatku menoleh. Tapi kau tahu apa? Aku hanya menoleh. Ya, cukup hanya menoleh. Aku tak mau beranjak dari sini. Aku tak mau melangkahkan kakiku untuk mendekat ke tembok itu. Sejujurnya aku takut jendela itu akan tertutup dan menghilang lagi. Aku takut sinar itu kembali tak bisa kugapai. Maka, aku memilih hanya menoleh dari tempatku berpijak disini. 1 detik, 2 detik, ah, 5 detik sekiranya sudah cukup. Lalu, aku kembali menatap tanah yang telah terlanjur berkawan denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar