Minggu, 29 April 2012

Barokah..

Menghabiskan sisa hari ahad di rumah teman dekat, yang akan menjemput hari bahagianya kurang dari 30 hari lagi. Kebetulan, sang calon sedang berada di rumahnya untuk berdiskusi segala sesuatu tentang rumah yang akan dikontrak. Walopun hari ahad, sang calon tetap menjalankan puasa sunnah.. maka, kami berdua, pergi membeli lauk untuk beliau berbuka puasa. Pilihan jatuh ke menu lele penyet. One of my fave' food.. :)

Saat menunggu pesanan kami siap, tiba2 hujan turun dg sangat deras.. Alhamdulillah.. tapi..Waduh..! ada mantel ga yah, di motor..? Setelah di cek, hanya ada 1 mantel hujan. Jadi, aku sbg pembonceng, diberi amanah utk menjaga lauk kami gaar tidak basah dan selamat sentosa hgg dihidangkan di meja makan.. karna mantel cukup kecil, jadi aku harus mmbungkukkan badanku, dan menaruh bungkusan makanan di depan tubuhku, diapit oleh punggung temanku. Cuku terlindungi aku kira... namun, serta merta aku teringat suatu kisah di buku Ust. Salim A. Fillah -- Barokallohulakuma -- Bahagianya Merayakan Cinta..

Suatu hari, terlihat seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah monjali. Mendung menggantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya mulai geripis, di kepalanya ad pecis putih kecil dan celananya beberapa senti di atas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut di antara jempol dan jari kakinya, Sepertinya yang lain ia juga memesan, "Pecel lele, mas."

'Berapa?", tanya mas penjual yang asyik menguleg sambel terasi sambil sesekalimeraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedikit lebih keras.

"Satu, dibungkus.." Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalau duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keping, pas jumlahnya sesuai harga.

"Nggak makan sini aja Mas? Takut keburu hujan ya?"
"Hi hi, buat istri..."
"Oooo..."

Selesai pesanannya dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambar titik - titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak - tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk istri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tang kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul - mukul.  Saat itu ia sadar, ia ambil pecisnya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan di tengah hujan, bukan?

+++++++++

Apa perasaan Anda ketika melihat lelaki ini? Kasihan, iba, miris, sedih?

Itu kan Anda, Coba tanyakan pada lelaki itu, kalau Anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan, keharuan. dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeninngan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan odi rumah petak kontrakannya. Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, IA BELUM PERNAH TERSENYUM SEMANIS ITU SAAT MASIH MEMBUJANG..Subhanallah...

Ya.. itulah cinta.. itulah barokah..

Barokah itu membawakan senyum meski air mata menitik - nitik..
barokah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan..
barokah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah...